Andalan

Ayah, Biarkan Aku Mengepakkan Sayap Sendiri

Aku adalah seorang anak pegawai Raja di Kerajaan yang sangat makmur. Walaupun hidupku pas-pas an, tapi orang tua ku mampu membiayai hidup kami sekeluarga dengan baik. Namun ada satu hal yang membuatku berbeda.

Dari lahir, Aku tidak bisa memilih banyak hal sesuai kemauanku. Semua pasti sudah ada sebelum Aku boleh memilih. Entah itu baju, sepatu, alat tulis, hingga memilih teman dan tempat belajar sekalipun.

20 tahun sudah Aku seperti ini. Entah kenapa lama kelamaan hal ini membuatku semakin melepas kemauanku untuk memutuskan sesuatu untuk diriku sendiri. Saking seringnya hal dalam hidupku dipilihkan oleh orang tua ku, maka terkadang Aku merasa tidak perlu memutuskan segala sesuatunya sendiri. Hingga akhirnya pada suatu saat, aku dihadapkan pada keputusan yang orang tuaku menyerahkan keputusan tersebut kepadaku. Sendirian.

Sore ini Aku dihadapkan dengan sebuah berita dari Kerajaan, bahwa aku diminta Raja untuk mengikuti seleksi pemilihan Mentri Kerajaan. Tidak banyak anak muda yang dapat dipilih mengikuti seleksi ini. Kalau boleh dikatakan, ini adalah posisi yang sangat diinginkan oleh hampir seluruh pemuda di Kerajaan kami.

Sebagai seorang Mentri Kerajaan, pasti nanti akan memiliki kehidupan layak, dan memiliki kuasa untuk melakukan banyak hal di kerajaan. Namun… Aku harus pergi merantau keluar kerajaan selama 5 tahun untuk ini semua. Dan satu hal yang pasti. Apakah nanti memang menjadi mentri Kerajaan adalah hal yang paling Aku inginkan? Aku tidak bisa memutuskan.

Aku bingung harus bagaimana, aku tidak tahu, apakah harus mengambil kesempatan ini atau tidak. Selama ini aku menyerahkan setiap keputusan pada kedua orang tuaku. namun kali ini mereka hanya berkata,”Semua terserah kamu nak. Kamulah yang menentukan jalan hidupmu.”

Sore itu aku tidak tahu harus berbuat apa. kulangkahkan kaki keluar rumah dan mulai berjalan masuk ke hutan di belakang istana. di tengah perjalanan yang entah mau ke mana itu, aku dikejutkan dengan sesuatu yang jatuh tepat menimpa kepalaku.

“Aduh! apa ini?”

kucoba melihat sekeliling, ternyata itu adalah anak burung pipit yang mungil. kulihat ke atas, ternyata ia jatuh dari sarangnya.

“Kembalikanlah burung itu ke sarangnya!” tiba-tiba seorang kakek tua berteriak kepadaku dari kejauhan. setelah ia mendekat, aku menjelaskan..

“Maaf Pak Tua, Saya tidak bermaksud mengambil anak burung ini dari sarangnya. Ia yang tiba-tiba jatuh menimpa kepala Saya.”

“Ya, Aku tahu kau tidak mengambilnya. burung itu sudah berkali-kali jatuh dari sarangnya. makanya Aku menjaganya dari kejauhan.”

“Bagaimana burung ini bisa jatuh terus dari sarangnya kek?”

“Burung ini telah berkali-kali belajar terbang sendirian dengan sayapnya. padahal ia tahu, ia masih memiliki kedua orang tua yang masih mampu mengajarkannya terbang. Tapi ia terus saja berusaha sendirian tanpa bantuan orang lain, sehingga aku khawatir dan menjaganya.. hingga memang ia bisa terbang tinggi seperti kedua orang tuanya.”

Aku terdiam, dan kakek pun melanjutkan ceritanya…

“Siapapun orangnya di dunia ini, suatu saat nanti pasti ia harus bisa mengepakkan sayapnya sendiri seperti burung ini. Karena itu, mempersiapkan diri adalah hal yang pasti.”

Cerita kakek barusan benar-benar meresap dalam hatiku. Aku kini menyadari bahwa mungkin inilah saat-saatnya aku harus bisa mengepakkan sayapku sendiri. mengambil keputusan dalam hidup oleh diriku sendiri. Sebagaimana burung ini yang terus berusaha untuk terbang dengan jatuh bangun, tapi ia tidak pernah menyerah dan tak perlu takut. karena ada kakek yang akan selalu menjaganya dan memperhatikan setiap langkah latihannya agar bisa terbang dengan sayapnya sendiri.

Begitu juga denganku. Aku yakin, dalam latihan mengepakkan sayapku nanti, Aku pun tidak perlu takut. Karena yakin Allah SWT pasti akan selalu menjagaku, mengembalikan Aku ke posisi semula untuk terus berlatih hingga mampu terbang tinggi dengan sayapku sendiri.

Kini Aku akan segera pulang dan berkata,”Ayah… Biarkan Aku Mengepakkan Sayap Sendiri.”

Andalan

Kenapa Saya Menulis Ini?

Menarik sekali, ketika melihat wajah kita di cermin, kita mulai menyadari bahwa inilah wajah yang selalu menemani kita melakukan banyak hal di dunia. Banyak orang yang sudah tersenyum karena wajah ini, tapi mungkin ada juga yang tidak. Dengan melihat wajah ini, kita tahu kita ada di dunia.

Dan ketika tahu ada di dunia, sebenarnya kita tidak pernah menentukannya. Saya dan juga Anda tentu saja tidak pernah membuat agenda dan rencana kelahiran kita sebelum Ayah dan Ibu kita menikah. Kita tidak pernah menentukan dengan Ayah yang mana kita lahir, atau di rahim siapa kita ingin dilahirkan. Atau dengan wajah seperti apa saya ingin hidup nanti. Tidak pernah.

Jadi bagaimana bisa kita sekarang mengetahui kita ada di dunia?

Dan apa sebenarnya tujuan kita lahir di dunia?

Itulah pertanyaan yang sering digaungkan oleh para filsuf. Hingga melahirkan banyak pemahaman untuk apa kita lahir di dunia.

 

Lahir untuk Sukses yang Bermakna

Matahari bersinar agak terik pagi ini, membuat seorang lelaki paruh baya di parkiran mobil itu menutupi kepalanya dengan map hijau yang ia bawa ke mana-mana. Asap kendaraan yang cukup pekat membuat dia dan orang-orang di sekitarnya harus terus menggunakan masker ketika keluar menatap jalanan.

Hingga akhirnya ia masuk ke gedung beruangan sejuk dengan wangi khas antiseptik itu. membuka pintu yang bertuliskan nama dirinya yang sudah berubah panggilan dari “Anak Dokter” menjadi “Pak Dokter”. Sambil menarik kursi putarnya ia duduk, menghela nafas, dan menarik stetoskop kesayangannya, melilitkannya di leher seperti biasa.

Hari ini adalah tepat tiga tahun ia mengucapkan sumpahnya di hadapan para penyelamat jiwa yang lain. Tidak bisa ia pungkiri, sudah cukup jauh perjalanan terjal yang ia lalui. Mulai dari buku-buku tebal yang ia lahap setiap malam, menghabiskan waktu tidur untuk mengulang pelajaran, hingga hal-hal yang ia sukai untuk mencapai cita-cita yang ia inginkan.

Mungkin saat ini ia belum menjadi dokter yang sukses seperti yang ia inginkan. Tapi ia terus teringat akan janji yang pernah ia ucapkan dalam hatinya yang terdalam,”Aku tidak peduli berapa banyak uang yang kuhasilkan. Jika Aku menemukan diriku melakukan ini semua untuk uang, atau aku hanya bergerak mengikuti aliran, maka Aku akan segera pergi dan melangkah keluar. Aku tidak akan pernah menjual diriku dan hidupku tanpa hasrat dan semangat hanya karena hal itu aman, sesuai dengan yang diharapkan atau mudah. Jika aku bisa sukses di sini, maka aku juga bisa sukses di banyak hal lain. Tidak masalah!”

Sepuluh tahun kemudian…

Sepuluh tahun dengan ribuan pasien yang telah ia selamatkan, bersama kesibukan mondar-mandir dari satu kota ke kota yang lain dengan mudah, kesuksesan yang luar biasa, kehidupan yang menyenangkan, rumah bagus, dua anak yang luar biasa, pernikahan yang menyenangkan, orang tua yang bangga akan dirinya, ia punya semuanya.

Tapi kenapa hingga sampai seperti ini pun, semua tidak terasa lebih baik daripada sepuluh tahun yang lalu? Semua janji yang ia ucapkan pada dirinya dulu, ia merasa terperangkap ke dalamnya. Ia sadar bahwa ternyata sepuluh tahun berlalu ini, ia malah terjebak dalam uang dan gaya hidup yang dulu pernah ia ingin jauhi.

Ada bagian dari dalam dirinya yang ingin memiliki hidup dengan hasrat, keinginan, optimisme dan energi. Dimana setiap bagian dari kehidupan yang ia mainkan memiliki makna bagi dirinya sendiri. Ia ingin memainkan permainan yang memang ia ingin mainkan. Bukan permainan yang masyarakat inginkan ia memainkannya, tetapi permainan yang memang ingin ia mainkan dan memang untuk itulah ia ada.

Hingga pada akhirnya pria tersebut membuat buku yang luar biasa menginspirasi saya dan menyadari, bahwa siapapun di dunia ini, pasti menginkan sesuatu yang lebih dari sekedar sukses. Bukan sekedar sukses yang dipahami masyarakat, tapi sukses yang bermakna bagi diri kita. Pria tersebut ialah Phillip C. McGraw Ph.D, penulis buku Self Matters.

 

Makna Hidup, Relatif atau Mutlak?

Dr. Phillip telah menunjukkan pada kita bahwa siapapun manusia yang hidup di bumi ini, tidak akan bisa lepas dengan suatu peran yang akan dia lakukan di dunia. Seakan-akan ada suatu ‘petunjuk’ yang hanya bisa ditemukan dalam diri kita masing-masing untuk menciptakan diri kita dari dalam ke luar.

Ini adalah pemahaman yang umum dipahami.

Hanya saja hal ini jadi menimbulkan pertanyaan lain, “Bagaimana kita tahu bahwa petunjuk yang kita temukan dari dalam diri kita nanti memang benar diri kita yang sebenarnya?”

Ketika kita bermain komputer, dan kita menyenanginya, apakah betul tujuan hidup kita adalah bermain komputer seumur hidup? dan haruskah saya meyakini bahwa bermain komputer adalah “benar” petunjuk yang mengarahkan diri saya yang sebenarnya?

Ketika kita membaca dan suka menghabiskan waktu dengan membaca, apakah benar, seumur hidup, inilah jalan hidup saya. membaca, membaca, dan membaca. dan haruskah saya meyakini bahwa membaca buku adalah “benar” petunjuk yang mengarahkan diri saya yang sebenarnya?

Pertanyaan ini mungkin membuat kita menjadi berfikir bahwa kebenaran tersebut menjadi kontekstual adanya. Ketika kita berfikir itu benar, maka itulah kebenaran yang sesungguhnya. Begitu pula dengan kesalahan atau hal yang tidak suka.

Kalau Saya tidak suka pedas, dan saya membenarkan bahwa tidak suka pedas itu benar, maka benarlah bahwa saya tidak suka pedas.

Bisa kita bayangkan? Jika pola pikir seperti ini terus dianut, maka bencana seperti apa yang akan terjadi?

Contoh bencana tersebut mungkin bisa kita lihat dari cerita berikut.

Seorang siswa yang terbiasa mencontek, mulai mempengaruhi teman-temannya untuk ikut mencontek juga, hingga pada akhirnya seluruh kelas mencontek. Maka bagi siswa yang tidak mencontek, hal itu menjadi salah, dan mencontek menjadi benar di kelas tersebut. Di sinilah kita paham bahwa pola pikir di atas dapat berlaku bagi orang-orang yang menganutnya.

Dan bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya bencana besar apa yang akan terjadi jika siswa-siswa seperti itu menjadi penerus kita di masa yang akan datang?

Sehingga hal ini mengajak kita berfikir bahwa sepatutnya lah kebenaran dan kesalahan pun PASTI memiliki porsi kemutlakan tersendiri yang tidak bisa diganggu gugat. Dimana diri kita lahir di dunia, PASTI ada sebuah kebenaran yang menyertai, dan kebenanaran itu mutlak. Bukan sekedar kontekstual dan menyesuaikan dengan lingkungan.

Kebenaran mutlak yang sudah disiapkan, bukan dari manusia, tapi dari Penciptanya manusia. Karena bagaimana mungkin sebuah komputer menentukan sendiri fungsi dirinya jika bukan sang programmer yang menentukan, kan?

 

Islam sebagai Petunjuk Mutlak Kelahiran Diri Kita

Sebagai seorang muslim, Allah SWT memberikan petunjuk-Nya dengan mengangkat Muhammad sebagai Rasul untuk kita ikuti dan menyampaikan jawaban sebenarnya dari pertanyaan di atas.

“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 30)

Jelas sudah, Allah tidak pernah menciptakan makhluknya dengan main-main. Pasti ada tujuan yang jauh lebih indah daripada apa yang kita pikir “indah”.

Dua Tujuan utama itu adalah Menyembah Allah SWT dengan penuh keikhlasan dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan Menjadi Khalifah di Bumi yang penuh rasa tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan kepada kita.

Saya pernah belajar dengan seorang coach nasional Indonesia, Tjia Irawan pernah berkata, “Manusia adalah makhluk Tuhan yang Sempurna dan diciptakan untuk tujuan yang Sempurna”. Maka sepatutnya lah kita menyempurnakan tujuan sempurna yang telah ditetapkan untuk kita dengan sempurna. Inilah jalan sebenarnya yang mampu menyempurnakan setiap hasrat, passion, energi yang akan menyelimuti diri di tiap kegiatan yang kita jalani setiap hari.

Sudah seberapa jauhkah kita melangkahkan diri di jalan-Nya yang sempurna?

 

Hasrat sebagai Petunjuk Relatif Kelahiran Diri Kita

Hasrat atau passion. Mungkin inilah yang sering digaungkan oleh para pembicara, motivator, atau apapun namanya yang telah membuat hidup banyak orang menjadi lebih bergairah dan berenergi.

Saya tidak bilang bahwa Hasrat kita terhadap sesuatu itu tidak penting. Banyak orang sukses atau ‘terlihat’ sukses karena mengikuti hasratnya. Namun hasrat ini tidak akan bertahan lama jika tanpa dibarengi dengan dua tujuan mutlak di atas.

Seperti halnya Dr. Phillip yang menceritakan hasratnya dan meraih kesuksesan karenanya, hiduplah penuh dengan hasrat, passion, energi dari sesuatu yang kita sukai. Bersamaan dengan itu, kita bersama melangkah pada koridor kebenaran yang telah ditetapkan untuk kita hingga meraih kesuksesan di Dunia dan Akhirat.

Seperti halnya yang pernah sahabat saya katakan, bahwa Dunia dan Akhirat itu seperti halnya ilalang dan padi. Ketika kita menanam padi, maka ilalang akan tumbuh di sekitarnya. Namun jika kita menanam ilalang, maka kita tidak akan menemukan padi di sekitarnya.

Untukmu yang Memegang Gelas Terlalu Lama

Hai kamu. lama tak berjumpa. masih sibuk mengejar dunia?

Hari ini tidak sesemangat biasanya. hujan badai biasanya tidak menggentarkan langkahmu mengejar gemerlap dunia. tapi kenapa hari ini berbeda?

kilauan cahaya malam sudah tak semembahagiakan dulu ya? kenapa? apa karena tidak ada teman tuk membuang dan membakar semua uang itu?

Nestapa mulai mengintip dari kejauhan. mungkin dia tertarik dengan gelas yang kau pegang itu.

iya.

gelas yang kau pegang sejak kita bertemu. untuk apa gelas sekecil itu kau pegang terus? takut haus?

atau sekedar mendapat pengakuan kalau kamu orang yang berkelas? sembari memegang gelas mewah dan jam tangan berlapis berlian?

Tanganmu cuma dua sayang. sedang pekerjaanmu lebih banyak dari jumlah penderita corona virus di Indonesia. yang mungkin terlambat diberi tatalaksana. bukan.. bukan salah mu sayang. bukan juga salah pemerintah. mereka sudah benar… benar-benar salah dari awal.

ayolah duduk di lantai. letakkan gelasmu di tengah dan kita pecahkan bersama. minum langsung dari teko jauh lebih memuaskan bukan? mungkin sekedar cengkrama manis bisa menghilangkan dahaga.

iya.

dahaga akan tawa bersama teman dan keluarga. saling memberi hadiah karena saling mencintai satu sama lain.

bukankah hidup bukan tentang jenis gelas yang kita pakai?

tapi bagaimana gelas itu membuat kita lebih nyaman. baik di atas tanah, ataupun di dalamnya nanti kan?

Bagaimana Cara Mengambil Alih Diri Sendiri

Pernahkah kamu merasakan hari-hari mu seperti melelahkan dan jenuh oleh aktivitas yang itu-itu saja. terkadang emosi kita juga naik turun oleh keadaan. wajar dan sangat manusiawi bukan?

untuk satu atau dua kali mungkin tidak masalah. Tapi saat kondisi itu terus menerus terjadi, maka kita tidak jauh berbeda dari robot. yang cuma melakukan apa yang SEHARUSNYA dilakukan.

Padahal kita semua lebih dari itu. We’re beyond our daily activity. ada sesuatu di sana yang perlu kita bangun. Tapi semua aktivitas yang berulang-ulang ini membuat kita lupa… kemana kita mau pergi.

Kuncinya ya satu: Beri Jeda

Jeda sebelum melakukan apapun aktivitas kita. meskipun itu hal yang biasa kita lakukan.

hal termudah misalnya… makan.

Kenapa aku makan? supaya gak lapar? supaya kenyang? atau cuma karena bosan? untuk siapa saya makan? berapa banyak? berapa kunyahan? bagaimana dengan budgetnya? cukup ga buat sampai akhir bulan?

ini akan melatih kita untuk mereset ulang hal yang biasa kita lakukan.. yang mungkin membuat kita jenuh. atau malah ingin mengubah kebiasaan tersebut.

Jeda.

Itu yang dibutuhkan dari semua kejenuhan. Jeda.

Untuk bertanya kepada diri sendiri.. kenapa kita melakukan hal ini berulang-ulang. apa yang kita kejar? apa yang sudah kita korbankan untuk mengejar apa yang kita lakukan sekarang? worth it kah?

Menemukan Normal yang Baru

Jujur saya merasa ditampar dengan tulisan pak Dahlan Iskan di DI’s Way dengan judul Corona Apalagi (https://www.disway.id/r/892/covid-apalagi).

Penyakit ini sudah membuat berbagai sendi kehidupan sehari-hari kita berubah 180 derajat. cukuplah para ahli sains, medis dan ekonom yang memaparkan apa saja perubahan yang sudah terjadi.

Tapi kita sebagai orang-orang yang hidup di masa ini, harus bersiap untuk menemukan “normal” yang baru. Mengapa? karena sebelum penyakit ini ter-eradikasi dengan baik melalui vaksinasi–seperti cacar misalnya– maka ia akan selalu, sekali lagi SELALU akan ada di sekitar kita.

Ini bukan pandangan pesimis, tapi realistis terhadap keadaan. cukup sudah kekhawatiran berlebihan. saatnya berubah kata pak Dahlan Iskan.

Dalam konteks keseharian saya sendiri sebagai dokter, maka konsep “normal” itu sudah harus berubah.

Hal yang menyedihkan adalah kami para tenaga medis tidak bisa lagi “seakrab” dulu dengan pasien. Dulu saat kuliah kedokteran dan ujian Osce, kami selalu diajarkan untuk jabat tangan dengan pasien dan mengucapkan salam, tapi kenyataan di lapangan, sekian banyak SOP mengharuskan kami menjaga jarak dengan pasien dan menggunakan APD lengkap.

Dulu pasien demam dan batuk 3 hari kami resepkan obat batuk biasa. Tapi sekarang, harus menggunakan cek Lab, rontgen bahkan Swab Test (yg bisa jadi negatif pada kondisi tertentu).

Siapapun kita, dimanapun kita berada, apapun pekerjaan kita, pasti banyak perubahan yang sudah terjadi sejak pandemi ini terjadi. tapi kita tetap harus bertahan dan survive. menemukan definisi “normal” yang baru dan move on.

Dan bersiap dengan kemungkinan terburuk –sebelum virus ini dieradikasi– bahwa kita akan hidup berdampingan dengan virus ini, dan penyakit lain yang mungkin mendampinginya. menemukan Normal yang Baru.

Antara Fokus dan Keinginan Belajar Hal Baru

Lagi-lagi ngomongin fokus. Ada apa sih dengan fokus?

Jadi berawal dari pernyataan tidak setuju saya dengan seorang trainer di acara kampus bahwa ‘seorang yg sukses harus fokus terhadap satu bidang’.

Kemudian hati saya seperti merasa terusik dan bertanya, “Bagaimana kalau fokus org tersebut adalah generalis?”
Pada akhirnya trainer selalu benar. Dan saya bawa pulang pengusik hati ini sampai skrg.

Hingga beberapa bulan kemudian, kakak saya yg pertama datang ke jakarta dan ngajak ngobrol santai. Diluar dugaan ternyata doi juga menasehati saya untuk fokus. “What? Kenapa semua org nyuruh gw buat fokus sih?” Pikiran lebay saya mulai berontak.

Saya masih ingin belajar banyak hal baru. Bertemu orang dengan banyak karakter dan background pengetahuan. Menurut saya sangat sayang kalau masih muda tapi sudah fokus di satu hal. Kalo sudah tua pasti males buat membuka pikiran untuk hal baru.

Mungkin hal ini juga yg membuat saya cukup menikmati beralih bidang akademik dari farmasi ke kedokteran. Bukan berarti gak sayang umur, tapi ya gimana lagi namanya suka?

Hingga kakak saya menekankan satu hal, “Gak papa kamu belajar banyak hal, tapi suatu saat kamu harus memilih fokus di mana. Suatu saat kamu harus milih fokus ke farmasi atau kedokteran. Saat kamu fokus di satu hal, kamu bakal tahu pahit getirnya bidang itu, sampai suatu saat kamu akan menemukan benang merahnya. Kamu bakal lebih mudah berhasil dan menghasilkan di sana”

“Jadikan namamu itu terasosiasi terhadap satu bidang. Misal Pak Habibie, semua org lgs berfikir pesawat. Yusuf Mansur, org akan berfikir tentang bisnis dan islam. Kamu?”

Hmmm… okey…

Bener juga sih. Kalau saya punya perusahaan dan butuh akuntan, kan gak butuh akuntan yang juga bisa akupunktur atau bikin bangunan kan? Karena gak bakal dipake di sana. Justru bakal nyari yg jago banget bidang akuntansi dan biarkan bidang lainnya dikerjakan oleh ahlinya.

Tapi hal ini akan berbeda ketika sudah mulai berbicara top management. Pasti butuh org2 yang bukan cuma ngerti hardskill tapi juga softskill. Multitalent akan jadi pertimbangan lebih.

Jadi yg mana yang lebih baik dilakukan skrg? Fokus di satu bidang atau belajar banyak hal baru? Bagaimana menyeimbangkannya?

Mungkin inilah yg membuat keinginan belajar hal baru saya harus mulai dievaluasi. Sudah cukup kah? Mau sampai kapan? Kapan mau mulai fokus satu hal? Mau berkarya di bidang apa? Saat org mengingat nama kita, mau diasosiasikan dengan apa?

Semoga segera terjawab.

Ketika lupa kalo shalat itu lebih penting

Antara lupa, gak peduli, terpaksa lupa, dan terpaksa gak peduli.

Atau malah karena berfikir… “emang kenapa sih? kan bisa dijamak? gak usah dibesar-besarin deh”

Naudzubillah…

Sebenernya ini Saya yang membesar-besarkan masalah atau Anda yang mengecil-ngecilkan masalah besar?

*tarik nafas…. atur emosi..

 

Maaf kalau berapi-api. tapi masalahnya sudah 2 kali kejadian seperti ini. dimana Saya ikut acara yang notabene diadakan oleh orang yang “seharusnya” sudah tau tentang islam dan menerapkannya, tapi dalam acara, di lapangannya malah mengambil waktu shalat maghrib yang sangat sempit. alhasil? Saya bingung harus shalat isya dan maghribnya seperti apa. Saya bukan ustadz. tapi seenggaknya orang banyak maksiat kayak Saya juga tahu kalau shalat bagi orang yang udah gak bisa gerak sedikitpun masih diwajibkan. Apalagi kita yang cuma melaksanakan sebuah acara?

Saya punya seorang teman yang sudah diterima di perusahaan multinasional dan mendunia. tapi karena setelah ia survey tempat kerjanya tidak “nyaman” untuk shalat dan beribadah saat bekerja, akhir ia tolak dan ia lebih memilih bekerja di perusahaan nasional saja.

Kalau orang yang sudah dihadapkan oleh kakayaan dan kemakmuran saja lebih memilih shalat, masih merasa hal lain lebih penting din?

Tolong lah, tolong din… Kita selalu minta doa kita dikabulkan tepat waktu, tapi kalau shalat kita undur-undur sampai melebihi waktunya itu kamu mau jadi apa din?

Mau jadi apa kamu din? gak mau kan kejadian shalat telat kayak gini terulang kembali? gak enak kan? makanya shalat tepat waktu!

*ngomong sama diri sendiri

Paradoks Sudah dan Tidak Merasa Cukup

Pernahkah kita merasa bingung tentang dua ungkapan ini?

“Jangan pernah merasa cukup, terus lakukan yang terbaik”

dengan…

“Orang yang paling kaya di dunia ini adalah orang yang paling merasa cukup”

Yang mana yang benar?

Wallahualam. di sini saya cuma ingin share buah pemikiran yang barusan saya dapatkan. Rasanya paradoks dua ungkapan ini sudah mengganggu saya dari saat SMA, dan ternyata baru kepikiran…. jangan-jangan….

Mungkin selama ini kita tidak sadar, betapa kompleks sistem dan urutan kejadian saat kita mau memulai hari ini. dari kondisi tidur yang Non Rapid Eye Movement (NREM) hingga jadi Rapid eye movement (REM), dilanjutkan dengan sinyal-sinyal yang dihantarkan syaraf ke otot untuk kita bergerak dan menguap, berapa banyak kalsium yang dipakai untuk menggerakkan otot tersebut, atau sekedar mematikan alarm yang bising, itu semua membutuhkan kerja cerdas dari tubuh yang hingga saat ini belum ada tandingannya.

Sehingga Rasul mengajarkan kepada kita untuk membaca doa bangun tidur:

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى أَحْيَانَا بَعْدَمَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

alhamdulillahil ladzi ahyana ba’da ma amatana wailaihin nusyur

Artinya :
Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali setelah mematikan aku dan kepada Allah akan bangkit

Wow, kita disuruh untuk bersyukur! bersyukur karena cukuplah semua yang telah Allah beri kepada kita. cukuplah hidup itu sebagai anugrah terindah yang pernah Dia berikan kepada kita. Cukuplah Iman dan islam itu menjadi anugrah yang terindah dari yang terindah dalam hidup kita. Cukuplah maksiat di masa lalu kita lakukan untuk bertobat saat ini. Cukup.. cukup…

Kita sudah diberi kecukupan untuk menjalani hidup, beriman dan berislam dengan diberi kehidupan, iman dan islam itu sendiri.

Mungkin inlah maksud dari “Orang yang paling kaya di dunia ini adalah orang yang paling merasa cukup”. karena dengan merasa cukup, kita tidak akan menyembah dan meminta-minta pada yang tidak sepatutnya kita minta dan sembah. Kita tidak mudah terlena dengan godaan. Merasa cukup membuat kita yakin RESOURCE kita selalu cukup untuk mencapai apapun.

Lho-lho? kok masih mau mencapai sesuatu? bukannya sudah merasa cukup?

Mencapai sesuatu di sini sudah bukan lagi untuk tujuan memenuhi kebutuhan diri. Untuk mereka yang sudah merasa cukup, mencapai sesuatu, memiliki tujuan dan cita-cita yang tinggi untuk dicapai, berusaha sekuat tenaga, pantang menyerah itu adalah sebuah UNGKAPAN SYUKUR karena SUDAH DIBERI KECUKUPAN.

Bagi mereka yang sudah merasa cukup oleh karunia-Nya, cita-cita yang ingin ia capai adalah sebuah BUAH TANGAN untuk diberikan pada-Nya, meski ia tahu Allah tidak membutuhkan sesuatu darinya. Rasul yang sudah ma’sum saja masih shalat tahajud terus untuk bersyukur, lha kita?

Dengan niat seperti ini, maka bisa jadi ungkapan “Jangan pernah merasa cukup, terus lakukan yang terbaik” itu artinya jangan pernah merasa cukup untuk bersyukur dengan menggapai impian dan cita-cita. lakukan yang terbaik. setelah selesai satu urusan dengan baik, lakukan hal lainnya dengan baik dan lebih baik.

Dengan demikian, tidak ada lagi paradoks dari kedua ungkapan tersebut.

Saya memang bukan ustadz apalagi orang alim yang suka baca kitab. Hanya seorang kerdil yang mencoba menasehati diri sendiri dan bersyukur karena diberi pikiran untuk berpikir dan menuliskannya secara singkat. Semoga bermanfaat.