Menarik sekali, ketika melihat wajah kita di cermin, kita mulai menyadari bahwa inilah wajah yang selalu menemani kita melakukan banyak hal di dunia. Banyak orang yang sudah tersenyum karena wajah ini, tapi mungkin ada juga yang tidak. Dengan melihat wajah ini, kita tahu kita ada di dunia.
Dan ketika tahu ada di dunia, sebenarnya kita tidak pernah menentukannya. Saya dan juga Anda tentu saja tidak pernah membuat agenda dan rencana kelahiran kita sebelum Ayah dan Ibu kita menikah. Kita tidak pernah menentukan dengan Ayah yang mana kita lahir, atau di rahim siapa kita ingin dilahirkan. Atau dengan wajah seperti apa saya ingin hidup nanti. Tidak pernah.
Jadi bagaimana bisa kita sekarang mengetahui kita ada di dunia?
Dan apa sebenarnya tujuan kita lahir di dunia?
Itulah pertanyaan yang sering digaungkan oleh para filsuf. Hingga melahirkan banyak pemahaman untuk apa kita lahir di dunia.
Lahir untuk Sukses yang Bermakna
Matahari bersinar agak terik pagi ini, membuat seorang lelaki paruh baya di parkiran mobil itu menutupi kepalanya dengan map hijau yang ia bawa ke mana-mana. Asap kendaraan yang cukup pekat membuat dia dan orang-orang di sekitarnya harus terus menggunakan masker ketika keluar menatap jalanan.
Hingga akhirnya ia masuk ke gedung beruangan sejuk dengan wangi khas antiseptik itu. membuka pintu yang bertuliskan nama dirinya yang sudah berubah panggilan dari “Anak Dokter” menjadi “Pak Dokter”. Sambil menarik kursi putarnya ia duduk, menghela nafas, dan menarik stetoskop kesayangannya, melilitkannya di leher seperti biasa.
Hari ini adalah tepat tiga tahun ia mengucapkan sumpahnya di hadapan para penyelamat jiwa yang lain. Tidak bisa ia pungkiri, sudah cukup jauh perjalanan terjal yang ia lalui. Mulai dari buku-buku tebal yang ia lahap setiap malam, menghabiskan waktu tidur untuk mengulang pelajaran, hingga hal-hal yang ia sukai untuk mencapai cita-cita yang ia inginkan.
Mungkin saat ini ia belum menjadi dokter yang sukses seperti yang ia inginkan. Tapi ia terus teringat akan janji yang pernah ia ucapkan dalam hatinya yang terdalam,”Aku tidak peduli berapa banyak uang yang kuhasilkan. Jika Aku menemukan diriku melakukan ini semua untuk uang, atau aku hanya bergerak mengikuti aliran, maka Aku akan segera pergi dan melangkah keluar. Aku tidak akan pernah menjual diriku dan hidupku tanpa hasrat dan semangat hanya karena hal itu aman, sesuai dengan yang diharapkan atau mudah. Jika aku bisa sukses di sini, maka aku juga bisa sukses di banyak hal lain. Tidak masalah!”
Sepuluh tahun kemudian…
Sepuluh tahun dengan ribuan pasien yang telah ia selamatkan, bersama kesibukan mondar-mandir dari satu kota ke kota yang lain dengan mudah, kesuksesan yang luar biasa, kehidupan yang menyenangkan, rumah bagus, dua anak yang luar biasa, pernikahan yang menyenangkan, orang tua yang bangga akan dirinya, ia punya semuanya.
Tapi kenapa hingga sampai seperti ini pun, semua tidak terasa lebih baik daripada sepuluh tahun yang lalu? Semua janji yang ia ucapkan pada dirinya dulu, ia merasa terperangkap ke dalamnya. Ia sadar bahwa ternyata sepuluh tahun berlalu ini, ia malah terjebak dalam uang dan gaya hidup yang dulu pernah ia ingin jauhi.
Ada bagian dari dalam dirinya yang ingin memiliki hidup dengan hasrat, keinginan, optimisme dan energi. Dimana setiap bagian dari kehidupan yang ia mainkan memiliki makna bagi dirinya sendiri. Ia ingin memainkan permainan yang memang ia ingin mainkan. Bukan permainan yang masyarakat inginkan ia memainkannya, tetapi permainan yang memang ingin ia mainkan dan memang untuk itulah ia ada.
Hingga pada akhirnya pria tersebut membuat buku yang luar biasa menginspirasi saya dan menyadari, bahwa siapapun di dunia ini, pasti menginkan sesuatu yang lebih dari sekedar sukses. Bukan sekedar sukses yang dipahami masyarakat, tapi sukses yang bermakna bagi diri kita. Pria tersebut ialah Phillip C. McGraw Ph.D, penulis buku Self Matters.
Makna Hidup, Relatif atau Mutlak?
Dr. Phillip telah menunjukkan pada kita bahwa siapapun manusia yang hidup di bumi ini, tidak akan bisa lepas dengan suatu peran yang akan dia lakukan di dunia. Seakan-akan ada suatu ‘petunjuk’ yang hanya bisa ditemukan dalam diri kita masing-masing untuk menciptakan diri kita dari dalam ke luar.
Ini adalah pemahaman yang umum dipahami.
Hanya saja hal ini jadi menimbulkan pertanyaan lain, “Bagaimana kita tahu bahwa petunjuk yang kita temukan dari dalam diri kita nanti memang benar diri kita yang sebenarnya?”
Ketika kita bermain komputer, dan kita menyenanginya, apakah betul tujuan hidup kita adalah bermain komputer seumur hidup? dan haruskah saya meyakini bahwa bermain komputer adalah “benar” petunjuk yang mengarahkan diri saya yang sebenarnya?
Ketika kita membaca dan suka menghabiskan waktu dengan membaca, apakah benar, seumur hidup, inilah jalan hidup saya. membaca, membaca, dan membaca. dan haruskah saya meyakini bahwa membaca buku adalah “benar” petunjuk yang mengarahkan diri saya yang sebenarnya?
Pertanyaan ini mungkin membuat kita menjadi berfikir bahwa kebenaran tersebut menjadi kontekstual adanya. Ketika kita berfikir itu benar, maka itulah kebenaran yang sesungguhnya. Begitu pula dengan kesalahan atau hal yang tidak suka.
Kalau Saya tidak suka pedas, dan saya membenarkan bahwa tidak suka pedas itu benar, maka benarlah bahwa saya tidak suka pedas.
Bisa kita bayangkan? Jika pola pikir seperti ini terus dianut, maka bencana seperti apa yang akan terjadi?
Contoh bencana tersebut mungkin bisa kita lihat dari cerita berikut.
Seorang siswa yang terbiasa mencontek, mulai mempengaruhi teman-temannya untuk ikut mencontek juga, hingga pada akhirnya seluruh kelas mencontek. Maka bagi siswa yang tidak mencontek, hal itu menjadi salah, dan mencontek menjadi benar di kelas tersebut. Di sinilah kita paham bahwa pola pikir di atas dapat berlaku bagi orang-orang yang menganutnya.
Dan bisa kita bayangkan, bagaimana jadinya bencana besar apa yang akan terjadi jika siswa-siswa seperti itu menjadi penerus kita di masa yang akan datang?
Sehingga hal ini mengajak kita berfikir bahwa sepatutnya lah kebenaran dan kesalahan pun PASTI memiliki porsi kemutlakan tersendiri yang tidak bisa diganggu gugat. Dimana diri kita lahir di dunia, PASTI ada sebuah kebenaran yang menyertai, dan kebenanaran itu mutlak. Bukan sekedar kontekstual dan menyesuaikan dengan lingkungan.
Kebenaran mutlak yang sudah disiapkan, bukan dari manusia, tapi dari Penciptanya manusia. Karena bagaimana mungkin sebuah komputer menentukan sendiri fungsi dirinya jika bukan sang programmer yang menentukan, kan?
Islam sebagai Petunjuk Mutlak Kelahiran Diri Kita
Sebagai seorang muslim, Allah SWT memberikan petunjuk-Nya dengan mengangkat Muhammad sebagai Rasul untuk kita ikuti dan menyampaikan jawaban sebenarnya dari pertanyaan di atas.
“Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56)
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 30)
Jelas sudah, Allah tidak pernah menciptakan makhluknya dengan main-main. Pasti ada tujuan yang jauh lebih indah daripada apa yang kita pikir “indah”.
Dua Tujuan utama itu adalah Menyembah Allah SWT dengan penuh keikhlasan dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan Menjadi Khalifah di Bumi yang penuh rasa tanggung jawab terhadap amanah yang diberikan kepada kita.
Saya pernah belajar dengan seorang coach nasional Indonesia, Tjia Irawan pernah berkata, “Manusia adalah makhluk Tuhan yang Sempurna dan diciptakan untuk tujuan yang Sempurna”. Maka sepatutnya lah kita menyempurnakan tujuan sempurna yang telah ditetapkan untuk kita dengan sempurna. Inilah jalan sebenarnya yang mampu menyempurnakan setiap hasrat, passion, energi yang akan menyelimuti diri di tiap kegiatan yang kita jalani setiap hari.
Sudah seberapa jauhkah kita melangkahkan diri di jalan-Nya yang sempurna?
Hasrat sebagai Petunjuk Relatif Kelahiran Diri Kita
Hasrat atau passion. Mungkin inilah yang sering digaungkan oleh para pembicara, motivator, atau apapun namanya yang telah membuat hidup banyak orang menjadi lebih bergairah dan berenergi.
Saya tidak bilang bahwa Hasrat kita terhadap sesuatu itu tidak penting. Banyak orang sukses atau ‘terlihat’ sukses karena mengikuti hasratnya. Namun hasrat ini tidak akan bertahan lama jika tanpa dibarengi dengan dua tujuan mutlak di atas.
Seperti halnya Dr. Phillip yang menceritakan hasratnya dan meraih kesuksesan karenanya, hiduplah penuh dengan hasrat, passion, energi dari sesuatu yang kita sukai. Bersamaan dengan itu, kita bersama melangkah pada koridor kebenaran yang telah ditetapkan untuk kita hingga meraih kesuksesan di Dunia dan Akhirat.
Seperti halnya yang pernah sahabat saya katakan, bahwa Dunia dan Akhirat itu seperti halnya ilalang dan padi. Ketika kita menanam padi, maka ilalang akan tumbuh di sekitarnya. Namun jika kita menanam ilalang, maka kita tidak akan menemukan padi di sekitarnya.